IlmuJiwa Kramadangsa - Ki Ageng Suryomentaram di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan. Beli Ilmu Jiwa Kramadangsa - Ki Ageng Suryomentaram di Singgasana Kata. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia!
KiAgeng Suryomentaram, memberikan wejangan agar seseorang hidup tentram, yakni merasakan rasa hidup yang sesungguhnya. Oleh Ki Ageng Suryomentaram memberi nama prinsip enam sa: sakepenake ( seenaknya/senyamannya), sabutuhe (sebutuhnya/sesuai kebutuhan), saperlune (seperlunya), sacukupe (sacukupnya), samesthine (semestinya), sabenere (sebenarnya). Dengan menjalani kehidupan yang enam sa tadi, diharapkan manusia tidak berlebihan, dan senantiasa menyikapi bagian dari hidup ini dengan
Dengandemikian, beragam bentuk gagasan dan doktrin yang terdapat di dalamnya harus tetap dilihat dalam konteks keragamannya masing-masing. 1 Tulisan ini akan membahas filsafat—atau disebut dengan "Ilmu Jiwa" (science of psyche)—dari seorang "pembangkang", Ki Ageng Suryomentaram, dan akan menunjukkan bahwa, meski gagasan Ki Ageng Suryomentaram itu bersifat orisinal, namun ketika diletakkan dalam konteks sosialnya hal itu tetap dapat dilihat sebagai ekspresi dari mentalitas tertentu.
Darikisah Ki Ageng Suryomentaram, kita dapat melihat pergolakan seorang manusia untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan. Blio berjuang membebaskan diri dari segala kekecewaan dan depresi. Kristalisasi pemikiran Suryomentaram dikenal sebagai Kawruh Jiwo atau Ilmu Jiwa. Beberapa sumber menyebut sebagai Kawruh Begja atau ilmu kebahagiaan/keberuntungan.
Vay Tiền Nhanh Ggads. - Perjalanan singkat dari Yogyakarta ke Surakarta pada awal abad ke-20 itu telah membuka mata hati Pangeran Suryomentaram. Di dalam gerbong kereta api, sang pangeran tertegun kala memandang ke luar, melihat para petani yang sedang bekerja di sawah. Begitu sederhananya mereka, berbeda dengan kehidupan yang dijalaninya di istana selama ini. Sekembalinya di keraton, Suryomentaram menjadi sering gelisah. Beberapa kali ia pergi untuk menenangkan diri. Terkadang berziarah ke gua-gua yang dulu kerap dikunjungi leluhurnya, atau ke pantai selatan. Di tempat-tempat sunyi itulah salah seorang anak kesayangan Sultan Hamengkubuwana VII 1877-1921 ini bermeditasi demi ketenteraman jiwanya yang terus saja suatu hari, sang pangeran sudah tidak tahan lagi. Ia pergi meninggalkan istana dan berjalan sendirian, tanpa mengenakan pakaian yang menunjukkan bahwa ia seorang putra raja, hanya membawa bekal Sang Pangeran Bernama kecil Raden Mas Kudiarmadji, Suryomentaram merupakan anak ke-55 Hamengkubuwana VII. Ia lahir di lingkungan keraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892. Ibunya adalah salah satu istri selir raja, yakni Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danureja VI. Pangeran Suryomentaram memutuskan pergi tanpa pamit setelah permintaannya ditolak sang ayah. Ia meminta agar diizinkan menanggalkan gelar pangeran, namun Hamengkubuwana VII tidak menyetujuinya. Setelah Suryomentaram pergi, barulah Raja Yogyakarta itu menyesal. Hamengkubuwana VII kemudian mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk mencari di mana keberadaan sang putra kesayangan pada suatu ketika, salah seorang utusan raja melihat sosok yang mirip dengan pangeran yang sedang dicari-cari. Namun, orang itu sangat kumal laiknya rakyat miskin kebanyakan, sedang bersama-sama kuli lainnya menggali sumur di suatu desa kecil di wilayah sebelah barat utusan raja memberanikan bertanya kepada orang itu, menanyakan namanya. Dijawab bahwa ia bernama Natadangsa. Mendengar suara yang ditanya, utusan raja itu semakin yakin bahwa Natadangsa tidak lain adalah Pangeran dengan hormat, Natadangsa dimohon pulang ke istana karena telah membuat ayahanda dan ibundanya khawatir. Lantaran kedoknya terbongkar, Natadangsa terpaksa menurut, dan mengikuti utusan itu kembali ke Kasultanan alias Suryomentaram hidup serabutan selama masa pengembaraan itu. Selain terkadang menjadi kuli, ia juga bekerja apa saja untuk sekadar bertahan hidup. Jualan batik dan buruh tani pernah istana, ia lagi-lagi tidak betah karena merasa tidak cocok dengan kehidupan mewah sebagai anak raja. Cobaan bagi Suryomentaram bertambah setelah sultan menceraikan ibundanya dan membebastugaskan kakeknya, Patih Danureja VI, disusul dengan kematian istrinya. Namun, demi menghormati sang ayah, Suryomentaram sebisa mungkin VII—yang sebenarnya sudah turun takhta sejak 29 Januari 1921—wafat pada 30 Desember 1931. Dituliskan oleh Prof. Dr. dr. Daldiyono 2014 dalam buku Ilmu Slamet, Suryomentaram turut mengusung jenazah sang ayah, namun tidak mau mengenakan pakaian kebesaran pangeran, melainkan memakai baju lusuh, bahkan bertambal-sulam hlm. 18.Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, Suryomentaram memisahkan diri dari rombongan dan singgah di sebuah warung. Ia memesan pecel, makan dan duduk lesehan bersama rakyat jelata. Sontak, kelakuan itu membuat para pangeran lainnya merasa malu. Mereka bahkan menyebut Suryomentaram sudah Gelar Ningrat Setelah ayahandanya meninggal dunia, Suryomentaram memohon kepada saudara tirinya yang sudah bertakhta menjadi raja, Hamengkubuwana VIII 1921-1939, agar diizinkan meninggalkan merasa “tidak pernah bertemu orang” selama hidup di lingkungan istana. Orang yang ia maksud adalah rakyat yang sebenarnya, orang-orang yang harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga, orang-orang yang hidup sederhana dan apa Hamengkubuwana VIII, permohonan Suryomentaram dikabulkan. Bahkan, pemerintah kolonial Hindia Belanda memberinya uang pensiun lantaran berstatus sebagai pangeran. Namun, uang tersebut ditolak Suryomentaram karena ia merasa tidak pernah bekerja untuk pemerintah pergi, Suryomentaram menjual seluruh harta benda yang dimilikinya. Uang hasil penjualan mobil diberikan kepada sopirnya, sedangkan hasil penjualan kuda diberikan kepada abdi dalem yang selama ini merawat kuda tersebut hlm. 19.Dengan berbekal uang secukupnya, Suryomentaram meninggalkan keraton untuk keduakalinya, barangkali ini untuk selama-lamanya karena ia memang tidak pernah berniat kembali ke istana. Gelar pangeran pun kini benar-benar ditinggalkan, ia mengganti namanya menjadi Ki Ageng berjalan jauh menuju ke utara, dan membeli sebidang tanah di Desa Beringin, Salatiga. Di sana, ia hidup dengan bercocok tanam sebagai petani, bergaul dengan rakyat jelata, menjalani kehidupan sebagai orang mengasingkan diri, Suryomentaram tetap menjalin relasi dengan beberapa pangeran yang memilih menepi seperti dirinya, termasuk Ki Hajar Dewantara, Ki Sutapa Wanabaya, Ki Prana Widagdo, Ki Prawira Wirawa, Ki Suryadirja, Ki Sujatmo, Ki Subono, dan Ki Suryaputra. Mereka membentuk perkumpulan dan menggelar sarasehan rutin setiap malam Selasa tokoh ini punya tugas sesuai spesialisasinya. Ki Hajar, misalnya, seperti dicatat Abdurrachman Surjomihardjo dalam Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern 1986, memperoleh bagian di bidang pengajaran, dengan mendidik anak-anak muda yang ikut dalam sarasehan tersebut. Pangeran dari Kadipaten Pakualaman bernama asli Soewardi Soerjaningrat ini adalah pendiri Perguruan Taman Siswa hlm. 10. Merumuskan Ilmu Bahagia Suryomentaram tertarik mempelajari ilmu jiwa atau psikologi. Ia mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan manusia dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan, demikian menurut Adimassana dalam Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia 1986 23.Adimassana menambahkan, pemahaman Suryomentaram tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap diri sendiri. Ia merasakan, menggagas dan menginginkan sesuatu, menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Suryomentaram mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia yang dilihatnya sebagai sumber yang menentukan perilaku manusia dalam eksperimen tersebut, Suryomentaram menyimpulkan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari dunia yang melingkupinya. Manusia selalu bergaul dengan lingkungan di sekitarnya dan selalu terkait dengan itu, yang kemudian menunjukkan perilaku manusia tersebut. Alasan itulah yang membuat Suryomentaram sungguh-sungguh mantap keluar dari istana, dari lingkungan keraton yang bermewah-mewahan. Ia ingin bersatu dengan alam dan kehidupan manusia yang sebenar-benarnya sehingga antara dirinya dengan lingkungan yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan, baik lahir maupun seperti yang tertulis dalam Puncak Makrifat Jawa Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram 2012 karya Muhaji Fikriono, sangat yakin bahwa untuk memahami manusia yang universal cukup dengan mengamati dan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri. Infografik mozaik Ki Ageng Suryomentaram. yang didalami Suryomentaram itu dikenal dengan istilah kawruh jiwa atau kawruh begja ilmu bahagia. Menurut Abdul Kholik & Fathul Himam dalam “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram” yang dimuat di Gadjah Mada Journal of Psychology Mei 2015, ia menjadikan metode itu sebagai perangkat analisis olah rasa untuk mengembangkan kualitas hidup dengan landasan introspeksi diri hlm. 122.Meskipun mendalami ilmu kebatinan, Suryomentaram menghindari unsur mistik atau klenik, ia berangkat dari hal-hal yang nyata dan ilmiah. Oleh karena itu, Suryomentaram memilih memakai kata kawruh yang lebih rasional daripada kata ngelmu yang lekat dengan konteks bahagia, bagi Suryomentaram, berasal dari diri manusia itu sendiri. Ada tiga unsur utama yang ada dan kekal dalam diri manusia, yang oleh Suryomentaram disebut sebagai “Zat, Kehendak, dan Aku”. Ketiga unsur ini merupakan asal dari segala sesuatu.“Zat itu ada, tidak merasa apa-apa dan tidak merasa ada. Kehendak itu ada, merasa apa-apa, dan tidak merasa ada. Aku itu ada, tidak merasa apa-apa, dan merasa ada,” demikian rumusan bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram, seperti dikutip dari Al-Ikhlash Bersihkan Iman dengan Surah Kemurnian 2008 176 karya Achmad menebarkan apa yang dipelajarinya dengan memberikan ceramah di berbagai tempat. Bahkan, ia pernah diundang Presiden Sukarno ke Istana Merdeka Jakarta pada 1957. Kepada Suryomentaram yang menghadap dengan pakaian sederhana, Bung Karno meminta nasihat dalam mengelola wafat pada 18 Maret 1962, tepat hari ini 57 tahun lalu, Suryomentaram telah menghasilkan sejumlah karya yang ditulis dalam bahasa Jawa, seperti Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa, dan lainnya. Ajaran kebahagiaan Suryomentaram hingga kini terus dipelajari dan diterapkan oleh komunitas budaya yang tersebar di sejumlah tempat di Jawa.==========Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 24 Maret 2018 dengan judul "Hidup Bahagia ala Ki Ageng Suryomentaram". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik. - Sosial Budaya Penulis Iswara N RadityaEditor Ivan Aulia Ahsan
Setiap meluangkan waktu nongkrong di kedai kopi, saya selalu mendengar pembicaraan seru tentang filsafat. Dan lumrah jika saya selalu mendengar nama Nietzsche, Descartes, Socrates, dan Plato dalam pembicaraan tadi. Para filsuf tersebut memang terdengar seksi ketika dibicarakan. Terkesan ndakik-ndakik dan ubermensch. Namun, membicarakan nama tersebut terasa kurang jika tidak dibandingkan salah satu filsuf lokal bernama Ki Ageng nama blio, mungkin yang terbayangkan adalah seorang sakti dengan tampilan pertapa yang sederhana. Masalah tampilan memang benar, blio memiliki outfit khas berupa kaus polos berkalung sarung. Namun Ki Ageng Suryomentaram bukanlah ahli klenik. Bahkan ilmu yang dikemukakan blio jauh dari kata Ageng Suryomentaram Sebelumnya BPH Suryomentaram, 1892-1962 adalah anak ke-55 dari 79 putra putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII, raja Jogja. Sebagai seorang pangeran, blio tidak mendapat kepuasan. Suryomentaram habiskan masa mudanya dengan mempelajari sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Namun, blio tetap tidak mendapat kepuasan. Bahkan blio harus menghadapi kejadian pahit berulang kali. Puncaknya adalah permohonan blio untuk mundur dari posisi pangeran serta naik haji. Kedua permohonan itu tidak dikabulkan. Akhirnya Suryomentaram memilih kabur ke Cilacap menjadi pedagang batik. Namun kaburnya blio membuat Sultan tidak berkenan. Sultan memerintahkan pencarian dan menjemput Suryomentaram untuk pulang ke Kraton. Perburuan membuahkan hasil, blio ditemukan di daerah Kroya saat sedang menggali sumur. Terpaksalah Suryomentaram pulang ke kepulangannya tidak memberi kepuasan. Bahkan blio melelang seluruh harta bendanya karena berpikir harta adalah sumber kekecewaan. Blio habiskan waktu dengan keluyuran ke tempat sakral untuk tirakat. Konon, saat Sultan HB VII wafat, blio melayat dengan penampilan seperti gelandangan. Pada fase ini, Suryomentaram dipandang sebagai pangeran edan atau Sultan HB VII, Suryomentaram tetap mengajukan permohonan berhenti sebagai pangeran. Akhirnya Kraton mengabulkan dan menggaji £ 75 per bulan sebagai bentuk penghargaan anggota keluarga. Blio membeli tanah di Bringin, Salatiga dan menjadi petani. Sejak itu, blio dikenal dengan nama Ki Ageng Suryomentaram. Kebebasan ini digunakan blio untuk mengkaji alam kejiwaan serta falsafah hidup. Selama 40 tahun blio mengkaji dengan menggunakan diri sendiri sebagai media kisah Ki Ageng Suryomentaram, kita dapat melihat pergolakan seorang manusia untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan. Blio berjuang membebaskan diri dari segala kekecewaan dan depresi. Kristalisasi pemikiran Suryomentaram dikenal sebagai Kawruh Jiwo atau Ilmu Jiwa. Beberapa sumber menyebut sebagai Kawruh Begja atau ilmu kebahagiaan/keberuntungan. Anda dapat mendalami ilmu ini banyak buku atau tesis sampai disertasi. Namun saya utarakan sedikit ringkasan hasil belajar perkara ajaran blio yang terkesan mudah namun aslinya njelimet ini. Terutama pada bagian yang membantu kita lepas dari ini bukanlah ilmu klenik. Kawruh Begja tidak menuntut sesaji atau kemenyan. Kawruh Begja menganalisis fenomena jiwa dan inti pribadi manusia. Suryomentaram mengamati bagaimana seorang manusia bisa bahagia, sedih, lalu bahagia lagi. Kajian blio bermuara pada kenyataan bahwa bahagia bukan datang dari “benda”. Namun seluruh rasa berasal dari diri sendiri. Berasal dari pikiran pribadi.“Di kolong langit ini anakku, tak ada sesuatupun yang pantas diratapi atau ditakuti.” Pemikiran Suryomentaram tersebut yang membebaskan blio dari kekecewaan berpuluh-puluh tahun. Blio menemukan kenyataan bahwa bahagia dan sedih datang silih berganti. Tidak ada manusia yang bahagia atau sedih seumur hidup. “Beribu-ribu keinginan manusia telah gagal digapai, namun manusia tidak lantas sengsara seumur hidup.” Demikian pula sebaliknya. Tapi, manusia bisa membebaskan diri dari kesedihan dengan merasa begja atau beruntung tersebut dapat memisahkan manusia dari diri’. Diri yang dimaksud adalah segala catatan’ identitas, dari jabatan hingga harta. Keberhasilan lepas dari diri’ ini membawa manusia pada kondisi manusia tanpa ciri. Manusia tanpa ciri inilah yang tenteram, santuy, dan bahagia. Dia tidak lagi terjebak catatan-catatan yang membuat diri kalap dan pikir begja ini dapat membebaskan manusia dari depresi. Perasaan celaka dan sedih yang mendalam tidak lebih dari olah pikir personal. Dengan merasa beruntung serta membebaskan diri dari catatan’, manusia tidak perlu menyibukkan diri pada sumber kesedihan. Misalnya Anda sakit hati karena putus cinta, Anda harus bersyukur hanya putus cinta. Setidaknya cinta yang putus lebih baik daripada kepala yang putus. Inilah contoh ekstrim pemaknaan kawruh Anda lebih mendalami Kawruh Begja, Anda akan menemukan banyak kemiripan pemikiran Suryomentaram dengan konsep psikoterapi. Namun, Kawruh Begja tidak mengajak manusia untuk meredam dan beradaptasi dengan catatan’ yang menjadi sumber trauma. Suryomentaram mengajak kita untuk mematikan segala catatan dan rekaman buruk ini untuk mencapai yang saya katakan mudah namun njelimet. Membebaskan diri dari segala catatan dan rekaman hidup terasa mustahil. Namun, mencapai manusia tanpa ciri memang memerlukan olah pribadi yang tidak instan. Meresapi setiap peristiwa dalam hidup, lalu mengkajinya dengan inti pribadi. Pada akhirnya, kita akan menemukan kenyataan bahwa “susah seneng iku digawe dhewe.” Atau susah senang itu dibuat banyak kisah hidup Ki Ageng Suryomentaram yang belum terbahas. Dari gerilya melawan penjajah, sampai berbagi ilmu tata negara kepada Soekarno. Namun, opus magnum blio tetaplah Kawruh Begja. Sebuah ilmu filsafat lokal yang tetap relevan, bahkan dikaji cabang keilmuan lain dari psikologi sampai sastra. Warisan ini yang menyebabkan blio dijuluki Plato dari Jawa. Menggoreskan nama blio dalam sejarah bukan sebagai pangeran. Namun sebagai manusia JUGA Meningkatnya Pamor Nasi Goreng Tanpa Kecap di Tangan Selebtwit dan tulisan Dimas Prabu Yudianto Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 28 Juli 2020 oleh Rizky Prasetya
Berbicara kehidupan tentu tidak akan pernah lepas dari yang namanya persoalan, baik persoalan dalam tata pergaulan maupun persoalan atas diri sendiri, yang berdampak pada hilangnya “rasa bahagia”. Dalam hidup bicara kebahagiaan memang persoalan yang subjektif, namun tidak jarang bagi sebagian orang dengan kejinya rela bercakar-cakaran, rela curiga, rela bertengkar dan lebih jauh rela menyalahkan keadaan ketika dirinya tidak merasa bahagia. Hingga melahirkan kesan bahwa dirinya tidak cukup dewasa dalam memahami realitas. Bahkan sering kita dengar kata-kata “bahagia itu sederhana”, akan tetapi ketika kata-kata itu dihadapkan pada persoalan yang lebih besar, diri kita tidak mampu menyikapinya dengan bijak, sehingga dengan mudah menyalahkan keadaan. Oleh karena itu, tidak jarang banyak berbagai pemikir telah melahirkan begitu banyak karya dan pemikiran untuk memahami persoalan tentang rasa manusia. Salah satunya adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ki Ageng Suryomentaram sendiri adalah putra Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang ke-55 dari 78 bersaudara. Lahir pada hari Jumat Kliwon, 20 Mei 1892 dari ibu Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI, dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram tidak berbeda dengan anak-anak sebayanya beliau bersekolah di sekolah Srimanganti yang berada di lingkungan Kraton Yogyakarta. Selepas dari Srimanganti, beliau melanjutkan pendidikannya dengan mengikuti kursus Klein Ambtenaar, yang mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, beliau bekerja di kantor gubernur selama 2 tahun. Sejak kecil Ki Ageng Suryomentaram memiliki kegemaran membaca buku-buku seperti, filsafat, sejarah, dan agama. Pendidikan agama Islam beliau dapatkan langsung dari Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Pada usianya mencapai 18 tahun Ki Ageng Suryomentaram pun diangkat sebagai Pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suryomentaram. Namun, pengangkatannya sebagai pangeran ini membuat Ki Ageng Suryomentaram sedikit kecewa ketika kakeknya Patih Danurejo VI diberhentikan sebagai patih dan akhirnya meninggal dunia. Pada saat Ki Ageng Suryomentaram memohon kepada ayahandanya untuk memakamkan kakeknya di Imogiri, ayahandanya menolak. Penolakan inilah yang membuat Ki Ageng Suryomentaram kecewa, meski terlahir dari anak seorang raja dengan segala fasilitas yang begitu mewah tetap saja dalam diri Ki Ageng Suryomentaram ada rasa gelisah dan kecewa. Rasa gelisah dan kecewa ini pun semakin besar dirasakan dalam diri Ki Ageng Suryomentaram. Bahkan dalam perjalanannya ketika dirinya sedang melaju menggunakan kereta, sang Pangeran melihat dirinya sebagai orang yang telah terkamuflase oleh pakaian yang digunakannya dari sutera, juga berbagai perhiasan berupa emas dan berlian yang dikenakannya. Dengan pakaian dan perhiasan yang mewah ini, membuat dirinya seakan-akan berbeda dengan kebanyakan orang. Dan pada saat itu dirinya berkata kepada dirinya sendiri, “Jika Suryomentaram ini tak lagi memiliki harta benda semat, kedudukan drajat, dan wibawa kramat, yang tersisa hanyalah orangnya saja”. Maka, dengan kegalauan dan perasaan keingintahuannya terhadap masalah kejiwaan, hakekat kehidupan, dan kebahagiaan. Telah membawa Ki Ageng Suryomentaram keluar dari kraton dengan melepaskan gelar kepangerannya dan pergi untuk mengembara. Memahami kehidupan Ki Ageng Suryomentaram telah menarik perhatian begitu besar bagi kebudayaan bangsa Indonesia terkait dengan masalah perenungan filosofis. Mengingat pertanyaan yang dilemparkan Suryomentaram terkait hakekat hidup persis seperti filsuf-filsuf besar dunia. Namun, yang menarik dari pemikirannya adalah sifat orisinalnya yang khas Indonesia karena lahir dari budaya dan masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan oleh Radhar Panca Dahana, bahwa wejangan Ki Ageng Suryomentaram menemukan gagasannya dalam peristiwa, dalam hidup yang berjalan, dan dalam diri orang-orang yang bergelut dalam keseharian, hingga banyak yang menyatakan bahwa gagasan Ki Ageng Suryomentaram adalah filsafat khas Indonesia. Gagasan filsafat khas Indonesia yang lahir dari kegalauan, perjalanan dan perenungan filosofis Ki Ageng Suryomentaram inilah yang melahirkan pengetahuan tentang kawruh jiwa atau ilmu jiwa science of the soul atau ilmu tentang pengetahuan diri science of self knowledge. Kawruh Jiwa adalah pengetahuan mengenai jiwa. Di mana jiwa adalah sesuatu yang tidak kasat mata, akan tetapi keberadaannya dapat dirasakan. Oleh karena itu Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa kawruh jiwa adalah ilmu tentang “rasa”. Dengan memahami kawruh jiwa, seseorang diharapkan dapat hidup tulus, tentram, penuh kasih sayang dan percaya diri. Salah satu gagasan dalam kawruh jiwa yang perlu dipahami terkait tentang persoalan diri sendiri dan kebahagiaan adalah karep dan mulur mungkret. Sebagaimana Ki Ageng Suryomentaram jelaskan bahwa sejatinya dalam diri manusia ada karep keinginan, watak karep ini adalah mulur-mungkret mengembang-menyusut. Bila keinginan tercapai akan mulur dan bila tidak tercapai akan mungkret. Dalam kehidupan sehari-hari terkait dengan rasa dan kebahagiaan inilah yang harus menjadi ukuran dalam mengatur keinginan agar tidak melampaui batas kemampuan dengan selalu menyalahkan keadaan dan melanggar batas-batas norma yang ada. Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan sepeda. Dan keinginannya itu tercapai maka ia akan mulur mengembang dengan menginginkan yang lebih tinggi, seperti motor. Namun apabila keinginan memiliki motor tidak terpenuhi secara alamiah seharusnya seseorang bersedia mungkret menyusut, menerima dulu apa yang dimilikinya. Jika melihat dalam konteks yang lebih jauh apa yang Ki Ageng Suryomentaram ajarkan ini ternyata sejalan dengan konsep rasa syukur, sebagaimana janji Gusti Allah dalam Ibrahim 7, “Dan ingatlah juga, tatkala Rabbmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Jadi, dengan pemahaman tersebut seharusnya sebagai manusia tidak perlu merasa frustasi dan bertindak melampaui batas serta mengatakan hal-hal yang justru menunjukkan ketidakmampuannya dalam bersyukur. Selain itu, dalam gagasan kawruh jiwa juga menunjukkan akan adanya bungah-susah gembira-susah yang bersifat langgeng. Di mana tidak ada kegembiraan yang terus-menerus, dan tidak ada kesedihan yang terus menerus. Keduanya hadir secara bergantian. Sehingga dalam hidup tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan dikeluhkan. Gagasan ini pun sejalan dengan pepatah kuno dari tanah Jawa tentang urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang’, artinya hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Pemahaman ini sangat efektif bila dipraktikkan dalam kehidupan untuk membesarkan hati bagi pihak yang tertimpa kesusahan besar, karena ia mengetahui bahwa kesusahannya tidak berkepanjangan dan lebih jauh tidak mudah iri dengan kebahagiaan orang lain. Oleh karena itu ada ungkapan yang terkenal dari Ki Ageng Suryomentaram,“Di atas bumi dan di kolong langit tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari, atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya, dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya”. Ungkapan Ki Ageng Suryomentara di atas merupakan cara untuk menghindari perasaan getun-sumelang. Getun artinya kecewa terhadap sesuatu yang telah terjadi dan sumelang artinya khawatir atas sesuatu yang akan terjadi. Jika seseorang terjebak pada perasaan getun-sumeleng, maka dia akan sulit bersifat objektif dan tulus dalam memahami realitas. Dan orang yang mampu keluar dari belenggu getun-sumeleng akan memasuki perasaan tenang dan percaya diri hingga mudah memperoleh kebahagiaan. Inilah sikap dan perasaan yang perlu dikedepankan seseorang untuk memaknai sebuah realitas hidup dan kehidupan, khususnya terkait dengan masalah kebahagiaan. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan yang diringi rasa syukur untuk mampu memahami persoalan yang dihadapi sebenar-benarnya. [zombify_post]
Semua manusia ingin hidup bahagia. Banyak pemikir filsafat dan psikologi mencoba merumuskan bagaimana manusia bisa merasa bahagia. Namun, yang mungkin tidak banyak orang tahu, di Jawa ada tokoh, pemikir, dah ahli kebatinan yang telah mengajarkan ilmu bahagia. Dialah Ki Ageng Suryomentaram, yang ajarannya oleh kalangan akademisi di Yogyakarta diharapkan menjadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Tapi siapakah Ki Ageng Suryomentaram ini? Lahir pada 20 Mei 1892, ia adalah putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo, putri Patih Danurejo VI. Ki Ageng memiliki nama bangsawan Bendoro Raden Mas BRM Kudiarmadji. Setelah umur 18 tahun, ia diberi nama kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo BPH Suryomentaram. Awalnya ia bergelar Pangeran Surya Mataram, tetapi kemudian menanggalkan gelar itu dan menyebut diri Ki Ageng Suryomentaram. Hal ini bermula ketika ia pernah turut dalam rombongan jagong manten ke Surakarta. Dalam perjalanan dengan kereta api, ia melihat petani yang sedang bekerja di sawah. Hal ini menyentuh hatinya, betapa beratnya beban hidup para petani itu. Lalu ia sering keluar istana untuk bersemedi di tempat-tempat yang biasa dikunjungi para leluhurnya, seperti Gua Langse, Gua Semin, dan Parangtritis. Lalu ia pergi mengembara di daerah Kroya, Purworejo, sambil bekerja serabutan sebagai pedagang batik pikulan, petani dan kuli Ia menjadi guru aliran kebatinan yang bernama Kawruh Begja atau Ilmu Begja ilmu bahagia..Salah satu ajaran moral Ilmu Begja yang sangat populer adalah Aja Dumeh, yang artinya jangan sok, jangan menyombongkan diri, dan jangan membusungkan dada, Jangan mengecilkan orang lain hanya karena merasa diri sendiri lebih berpangkat tinggi, berkuasa, atau kaya raya, sebab manusia itu pada hakikatnya adalah sama. Pemahaman Ki Ageng tentang manusia seluruhnya bertitik tolak dari pengamatannya terhadap dirinya sendiri. Ia menggunakan metode empiris, yang didasarkan pada percobaan-percobaan yang dilakukannya pada dirinya sendiri. Dengan cara merasakan, menggagas, dan menginginkan sesuatu, ia menandai adanya gerak kehidupan di dalam batin manusia. Ki Ageng mencoba membuka rahasia kejiwaan manusia, yang dilihatnya sebagai sumber penentu perilaku manusia dalam hidupnya. Ki Ageng juga menunjukkan dasar bagi perilaku manusia dalam dunianya, sehingga antara diri dengan dunia yang melingkupinya bisa tercipta keselarasan. Meski memiliki wawasan agama yang luas karena gemar membaca, Ki Ageng tidak pernah berpuas diri, sampai ia memilih keluar dari Keraton dengan menjadi petani di Desa Bringin, Salatiga. Sepanjang hidupnya, ia mencurahkan perhatian terhadap masalah kejiwaan. Ki Ageng melakukan perjalanan spiritualitas dengan pencarian jati diri, untuk mengetahui makna bahagia. Bahagia itu bukan karena mendapat untung, prestasi, atau pengakuan, tapi bejo beruntung. Salah satu ajaran Ki Ageng adalah memaknai rasa senang dan tidak senang. Menurutnya, senang atau tidak senang itu bukan fakta, tetapi reaksi kita atas fakta. Manusia itu makhluk dengan rasa. Walaupun ada bermacam rasa, tapi dapat diringkas menjadi dua rasa enak dan tidak enak. Dalam pergaulan, seseorang harus mengerti rasa dari yang lain. Ketidakpengertian akan menimbulkan rasa yang tidak enak dan akhirnya timbul perselisihan. Karenanya untuk mengerti rasa orang lain, ia harus mengerti rasa diri yang menghalanginya. Sepanjang hidupnya, Ki Ageng Suryomentaram mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan. Banyak hasil penyelidikannya tentang diri sendiri yang berupa buku, karangan, atau ceramah. Pengajaran Ki Ageng biasanya berupa ceramah-ceramah yang ditujukan kepada kalangan terbatas dan diberikan dengan cara yang khas, yakni dengan duduk di lantai lesehan. Kebanyakan tulisan yang membahas persoalan kejiwaan dan kerohanian ditulisnya dalam bahasa Jawa, antara lain Pangawikan Pribadi, Kawruh Pamomong, Piageming Gesang, Ilmu Jiwa, Aku Iki Wong Apa? Cara hidup Ki Ageng Suryomentaram juga menampakkan kesederhanaan, dengan mengenakan celana pendek, sarung yang diselempangkan pada pundaknya, dan memakai kaos. Rambutnya dicukur sampai pendek dan kepalanya dibiarkan tidak tertutup, serta kakinya pun dibiarkan tanpa alas. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tengah mencoba mengembangkan teori psikologi dari ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Berlatar belakang budaya Jawa, ajaran Ki Ageng diharapkan jadi cikal bakal lahirnya teori psikologi lokal. Ki Ageng menciptakan teori psikologi Jawa karena ia orang Jawa. Tapi ajarannya bisa relevan, tidak terbatas bagi orang Jawa saja, karena teori psikologi sebenarnya tidak terbatas pada kewarganegaraan dan letak geografis, apalagi etnisitas. Tidak mudah mengembangkan ajaran Ki Ageng untuk menjadi teori psikologi, agar bisa diajarkan di perguruan tinggi. Namun, usaha untuk terus mengembangkan teori psikologi lokal ini layak diapresiasi. Pasalnya, sebagian besar teori psikologi yang diajarkan saat ini di Indonesia lebih berkiblat pada teori psikologi Barat, yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh psikologi dari bangsa Yahudi. Ki Ageng Suryomentaram wafat tanggal 18 Maret 1962 pada umur 69 tahun, dan meninggalkan warisan ilmu kejiwaan yang sangat kaya. *** E-mail
kata bijak ki ageng suryomentaram